H.N Azizah
Seperti pohon yang menggugurkan daun-daunnya, yang tak pernah mengenal mana daun yang telah menguning dan mana daun yang masih hijau. Seperti manusia yang akan terlepas dari tangkai kehidupan dunia, yang tak pernah mengingat mana yang tua dan mana yang muda. Tuhan Maha Adil, semua keputusan-Nya adalah yang terbaik bagi kita, hanya saja terkadang kita berpikir terlalu pendek sehingga menganggap Tuhan tak berpihak pada kita. Sebenarnya, kita hanya perlu membuka sedikit hati kita untuk memahami keputusan Tuhan.

***
Tak pernah sedikitpun terlintas dibenakku bahwa penyakit ini akan datang menghampiriku. Kenapa harus aku? Kenapa penyakit ini memilihku? Hidupku pasti akan hancur nantinya. Tuhan begitu tak adil denganku. Lamunanku membuyar begitu seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Kuusap air mata yang sedari tadi membasahi pipi. Kuhampiri gagang pintu dengan langkah gontai.
“Risa…” bola mata yang bening itu menatapku tajam. “Nay…” aku menundukkan kepalaku. Aku tak sanggup menatap wajah sahabatku dengan keadaanku sekarang. “Ris…kamu bohong kan? Kamu nggak mungkin…” ucapan Naya debgan menggelengkan kepalanya. “Semuanya udah aku kasih tau ke kamu Nay.” Naya terdiam, sepertinya itu bukanlah jawaban yang ia inginkan. Aku membalikkan badanku dan berjalan mendekati tempat tidur. Kulempar tubuhku keatas tempat tidur. Naya duduk disebelahku.
“Jadi, semua itu benar?” kuanggukan kepalaku dengan pandangan kosong. Terdengar hembusan nafas Naya yang tertahan. “Ayah dan ibumu, apa mereka sudah tau?”. “Sekarang bukan waktu yang tepat Nay.” Aku menjawab sekenanya. “Jadi mereka belum tahu?” Naya bangkit dari duduknya dan menatapku dengan tatapan tak percaya. “Kamu tahu kan kalau sekarang ayahku sedang dirawat di rumah sakit? Apa jadinya kalau sekarang aku berterus terang pada mereka?”. “Risa…” Naya kembali duduk disebelahku, ia kemudian melingkarkan kedua tangannya dibahuku. Kita menangis bersama.
Malam harinya setelah Naya pamit pulang, aku termenung sendirian didepan televisi yang sengaja aku biarkan menyala. Ibu dan adikku pergi menunggui ayah di rumah sakit. Sudah seminggu terakhir ayah dirawat dirumah sakit. Ayah baru saja menjalani operasi akibat kecelakaan mobil yang ia alami. Aku kembali memikirkan kata-kata Naya yang menyuruhku memberitahukan keadaanku pada ibu. Memang kalau dipikir-pikir ucapan Naya ada benarnya juga, dokter bilang aku harus cepat-cepat menjalani proses kemoterapi. Itu artinya mau tidak mau aku harus bilang terlebih dahulu pada ibu, aku tak mungkin menjalani kemoterapi secara diam-diam.
Hal ini benar-benar membuatku seperti orang gila. Terbayang begitu saja olehku apa yang telah aku lewati selama ini. Hatiku hancur saat mengingat wajah-wajah orang-orang yang sangat kusayangi. Aku tak mau kehilangan semua yang aku miliki. Aku tak mau berpisah dari mereka. Sungguh, sedetikpun aku tak mau.
Pagi hari saat kubuka kedua mataku, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhku. Aku belum pernah merasakan sakit sesakit ini. Nafasku terasa teramat sesak, aku takut. Pandangankupun menjadi gelap dengan tiba-tiba.
“Risa…” aku mendengar ada suara memanggilku. Kucari sosok itu tapi pandanganku masih belum jelas. Kucoba mengedipkan mataku perlahan untuk beberapa kali. Kudapati ibu ada dihadapanku. Ya, itu ibu, ibuku. “Ibu…” aku memanggilnya. “Risa takut bu,” ibu menggenggam tanganku dengan lembut, ini sedikit menenangkan hatiku. “Ibu disini, jangan takut sayang.” Aku melihat gurat kekhawatiran dikening ibu.
“Siapa yang membawa Risa kesini, Bu?”. “Tadi saat ibu baru pulang, ibu melihat kamu sudah ada dilantai kamarmu. Kamu pingsan sayang, ibu panik dan ibu bertambah panik saat melihat ada darah mengalir dari hidungmu.” Ibu membelai rambutku. “Ayah?”. “Tadi ibu sudah memberitahu ayah, ayah tadi juga dari sini. Tapi, ayah harus segera kembali kekamarnya, ayah harus banyak istirahat, lukanya belum sembuh.” Ibu mencoba tersenyum padaku, senyum yang jelas dipaksakan dengan mata yang masih sembab. Aku merasa begitu bersalah pada ibu. Oh Tuhan, tidakkah Engkau bisa sedikit mengubah takdirku? “Jadi aku dan ayah ada dirumah sakit yang sama?” ibu menganggukan kepala. “Nanti ibu akan meminta pihak rumah sakit agar kamu dan ayah ditempatkan disatu kamar.” Air mataku mengalir begitu saja. Sungguh, aku tak ingin ibu sedih seperti ini.
Dokter yang memeriksaku datang, jantungku berdegup kencang. Aku tak mau kalau ibu harus tahu kondisiku saat ini. Aku belum sanggup menghadapinya. Tapi, biarpun aku tak ingin, aku sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan dokter, aku bisa melihatnya dari ekspresi raut muka dokter. “Dok, bagaimana hasilnya?” ibu berdiri saat dokter menghampiri aku dan ibu.
Hmm…begini Bu, dari pemeriksaan darah yang telah nak Risa lakukan tadi, terdapat kelainan dalam darah nak Risa ini.” Dokter terlihat begitu berhati-hati dengan ucapannya. “Kelainan apa dok?” ibu berusaha meminta kejelasan dari dokter sementara aku menutup kedua mataku. Aku tak mau menyaksikan wajah cantik ibuku tergores oleh kesedihan yang aku buat.
“Manusia memiliki sel darah putih dalam tubuhnya yang berfungsi menjadi antibodi. Normalnya, sel darah putih mereproduksi ulang bila tubuh memerlukannya atau ada tempat bagi sel darah itu sendiri. Tubuh manusia akan memberikan tanda secara teratur kapankah sel darah diharapkan bereproduksi kembali. Tapi, yang terjadi pada Risa berbeda, sel darah putihnya tidak merespon kepada tanda yang diberikan. Akhirnya produksi sel darah putih pada tubuh Risa tidak terkontrol dan keluar dari sumsum tulang sehingga dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepinya. Jumlah sel darah putih yang abnormal ini bila berlebihan dapat mengganggu fungsi normal sel lainnya, Bu. Kondisi seperti ini disebut leukemia dan leukemia yang Risa derita, sudah ada pada stadium 4.” Kata dokter lirih.
“Leukemia dok? Apa ini penyakit yang berbahaya?” tanya ibu. “Benar bu, bahkan bisa menimbulkan kematian.”. “Apa?! Kematian? Tapi bagaimana mungkin Risa…” suara ibu terputus, air mata akhirnya menetes dipipi ibu. Ahhhh… dokter itu benar-benar menyebalkan, kenapa ia malah mengatakan hal seperti itu sih? Apa dia tidak memikirkan akibat ucapannya itu? Hatiku terasa ditusuk-tusuk duri tajam, perih.
“Tenang bu, masih ada harapan untuk Risa dengan jalan kemoterapi.” Dokter berusaha menenangkan keadaan ibu yang mulai panik. Aku memilih untuk diam mendengarkan penjelasan dokter ditemani air mata yang mengalir semakin deras. Aku lega karena ibu sudah tau apa yang terjadi sesungguhnya padaku, tapi ini artinya aku menambah beban yang berat bagi kedua orang tuaku. Entah apa yang aku fikirkan tapi aku begitu menginginkan terlahir sebagai orang lain, orang lain yang tak terkena penyakit akut dan orang lain yang tak pernah membebani ayah dan ibunya.
Kini usiaku menginjak angka 18, angka yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Itu artinya 4 tahun sudah aku menelan kenyataan pahit bahwa aku terkena leukemia. Hari-hari kulalui dengan penuh perjuangan. Perjuangan melawan penyakitku dan perjuangan menahan tetes air mata kesedihan. Tubuhku semakin hari semakin melemah, berat badanku telah turun 9kg. Kemoterapi yang aku jalani sedikit menolong, meski rambutku banyak yang rontok dibuatnya. Aku begitu frustasi dengan keadaanku sendiri.
Setelah lulus dari SMA aku memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah. Ibu dan ayah begitu kecewa dengan keputusanku, tapi inilah jalan yang aku pilih. Pada akhirnya mereka mengalah dengan keputusanku. Kini, aku benar-benar ingin berdamai dengan takdirku. Berdamai dengan kehendak Tuhan. Berdamai dengan rasa sakit yang teramat hebat ini. Kucoba menikmati tiap hembus nafasku. Nafas yang entah berapa lama lagi dapat kurasakan. Kubuang jauh-jauh rasa sakit yang menderaku. Aku ingin bahagia. Bahagia dengan hidup yang diberikan Tuhan untukku. Aku berhenti berangan-angan untuk menjadi orang lain. Berhenti memikirkan jika aku bukanlah aku.
Malam ini bintang-bintang bertaburan menghiasi langit. Aku, ibu, ayah dan adikku menggelar tikar dihalaman rumah dan melihat bintang bersama-sama sambil tiduran. Kami berbincang tentang banyak hal. Seperti hal-hal yang kami cita-citakan. “Aku ingin hidup untuk 100 tahun lagi.” Begitu ucapku ketika tiba giliranku untuk mengatakan apa cita-citaku. “Atau jika Tuhan tidak mengizinkan aku hidup seratus tahun lagi, biarkan aku bisa menikmati malam ini sampai esok pagi.” Ayah yang berada disampingku menatap kearahku. “Berhenti mengatakan hal-hal yang berhubungan dengan hidup dan mati. Kau adalah putri ayah, putri ayah yang sangat kuat. Tak akan ada hal buruk menimpamu Risa.” Aku tersentak mendengar kata-kata ayah, aku ingin menangis. Kutahan air mata ini sambil mengangguk tersenyum menatap ayah. Ayah juga membalas senyum, ia memalingkan wajahnya lagi menatap kearah bintang-bintang.
“Kakak…” adikku tiba-tiba memanggilku. “Ada apa?”. “Seminggu yang lalu aku bermimpi, mimpi ini sangat menggangguku.” Aku bangkit dari tidurku, semua mata tertuju pada adikku. “Katakan pada ibu, kau mimpi apa malam itu?” ibu bertanya dengan nada kekhawatiran. “Aku bermimpi kakak mengantar aku kesekolah. Tapi, ditengah jalan, kakak melambaikan tangan padaku dan menghilang begitu saja meninggalkanku. Aku menangis dan berlari-lari mencari kakak.” Adik menghentikan ceritanya. Aku berfikir sejenak. “Bagaimana akhirnya?” tanyaku kemudian. “Aku hanya menemukan sehelai kain putih. Aku tidak tau itu milik siapa, tapi aku menyimpannya didalam tasku. Setelah itu aku terbangun dari tidurku.” Mimpi adik ini, mungkinkah ini sebuah pertanda untukku? Tuhan, benarkah Kau akan memanggilku? Kupalingkan wajahku kearah bintang-bintang dan berusaha mendapatkan jawabannya.

***SELESAI***